Beranda | Artikel
Larangan Shalat dalam Keadaan Tangan di Pinggang
Senin, 9 Maret 2009

(Revisi dari posting sebelumnya. Seharusnya tangan di pinggang, bukan di lambung. Posting kali ini adalah sebagai ralat) Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron (tangan diletakkan di pinggang).” (HR. Bukhari dan Muslim)

[Bukhari: 27-Berbagai Bab Amalan Dalam Shalat, 17-Bab Hadir Ketika Shalat. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 12-Bab Meletakkan Tangan di Pinggang. Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.”] Ibnu Hajar mengatakan bahwa makna mukhtashiron adalah meletakkan tangan di Pinggang.

Pelajaran Berharga Pertama; terlarang meletakkan tangan di Pinggang ketika shalat. Alasannya diceritakan oleh ‘Aisyah bahwa perbuatan semacam ini biasa dilakukan oleh orang Yahudi.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Terlarang meletakkan tangan di Pinggang.” Lalu dia berkata, “Yahudi biasa melakukan hal ini.” (HR. Bukhari) [Bukhari: 64-Kitab Al Anbiya’, 51-Pembicaraan mengenai Bani Isroil]

Kita dilarang meniru-niru perbuatan orang Yahudi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Kedua; alasan lain terlarang meletakkan tangan di Pinggang adalah karena di dalamnya terdapat sikap takjub dan sombong. Sifat inilah yang meniadakan khusyu’ dalam shalat. (Syarh Bulughul Marom, 49/3)

Ketiga; sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. Padahal yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berbeda jauh. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memanjangkan sujudnya dalam shalat malamnya sampai ‘Aisyah mengatakan, “Aku kira beliau telah meninggal dunia.” Dalam hadits lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam raka’at pertama surat Al Baqarah, ‘Ali Imran dan An Nisa’ sekaligus. Kemudian beliau ruku’ yang lama seperti membaca surat tadi. Begitu juga ketika bangun dari ruku’ (i’tidal), beliau melakukan sama lamanya dengan ruku’nya tadi. Lalu beliau sujud yang lamanya seperti tadi. Inilah yang beliau lakukan ketika beliau melaksanakan shalat sunnah. Adapun ketika beliau shalat wajib secara berjama’ah, beliau sangat memperhatikan orang yang lemah dan orang yang punya hajat. Jadi salah satu makna ikhtishor dalam shalat adalah meringkas shalat tanpa menunaikan kewajiban-kewajiban yang ada. 

Keempat; di antara makna ikhtishor lainnya adalah membaca hanya sebagian surat saja dari surat yang ada. Imam Malik sampai mengatakan: 

أحب إليّ أن يقرأ سورة كاملة -ولو من قصار المفصل- من أن يقرأ نظيرها عدة مرات من سورة طويلة

“Saya lebih senang membaca surat secara utuh –walaupun itu adalah surat qishorul mufashol (surat pendek semacam surat Al Ikhlash) daripada membaca surat yang panjang (namun cuma sebagian) sebanyak beberapa kali. ” [1]

Jika seandainya seseorang membaca surat Al Baqarah, Ali Imron, atau Yasin sebanyak 1 halaman penuh, maka masih lebih bagus jika dia membaca surat Al Falaq, Al Fiil, Al Qadr secara sempurna (utuh). Ini lebih disukai oleh Imam Malik daripada hanya membaca surat yang panjang, namun hanya sebanyak 1 halaman, tanpa menyempurnakannya. Alasan dari maksud Imam Malik di atas: Jika seseorang memperhatikan isi Al Qur’an, dia akan mendapati bahwa uslub dan metode penjelasan dalam surat-surat mufashol (yang pendek) itu memiliki tema pembahasan tertentu. Hal ini berbeda dengan surat-surat yang panjang, yang memiliki banyak tema dalam satu surat. Jika seseorang mau membaca sebagian dari surat-surat yang panjang semacam Al Baqarah, maka hendaklah dia membaca satu tema secara utuh. Misalnya dalam surat panjang tersebut, dia membaca kisah Nabi Musa, maka janganlah dia berhenti di tengah cerita, tanpa menyempurnakannya. Jika tidak mungkin demikian, maka lebih bagus membaca surat qishorul mufashol.

Ringkasnya, ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas bisa bermakna:

  1. Hanya membaca satu cuplik dari surat ketika shalat, tanpa menyelesaikan surat tersebut secara utuh atau tanpa menyelesaikan satu tema pembahasan.
  2. Mengurangi sebagian kewajiban shalat.
  3. Bermakna hissi (inderawi) yaitu meletakkan tangan di Pinggang ketika shalat karena ini termasuk ibadah Yahudi dan kita dilarang meniru mereka dalam ibadah kita. Dan yang lebih tepat ketika bersedekap adalah tangan di dada dan bukan di pinggang atau di lambung.

 

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.

Keterangan: Surat Al Mufashol adalah surat yang dimulai dari surat Qaaf sampai dengan akhir surat An Naas. Surat ini terbagi menjadi: Pertama, Thuwalul Mufashol (yang panjang): Dimulai dari surat Qaaf sampai dengan akhir surat Al Mursalat. Kedua, Awwalul Mufashol (yang pertengahan): Dimulai dari surat An Naba’ sampai akhir surat Al Lail. Ketiga, Qishorul Mufashol (yang pendek): Dimulai dari surat Adh Dhuha sampai akhir surat An Naas. 

(Mu’jam Al Mushtolahat Al Qur’aniyyah, hal. 19, Asy Syamilah) 8 Rabi’ul Awwal 1430 H Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya Muhammad Abduh Tuasikal

Baca Juga:


Artikel asli: https://rumaysho.com/229-larangan-shalat-dalam-keadaan-tangan-di-pinggang.html